17 Nov 2010

SS stage 03

“kalau begitu bersujudlah seperti ulat, memohonlah kepada iblis”
[Ciel Phantomhive – Kuroshitsuji]

=FLASHBACK=
“oke..oke..ceritanya aku jadi mak comblang nih ??”
“maaf....kamu ga akan makan teman kan ?”
“kok jalannya sempoyongan gitu ? kalo jalan tuh yang semangat dong”
“benarkan ternyata temanmu. Aku kaget loh. Mereka jadiankah ?”
“siapa yang mengkhianatimu ?”
“kamu keberatan ? tapi itulah caraku. Toh kamu juga sukakan ?”
“Ingat, kamu cuma suka sama dia. Jadi siapapun berhak memilikinya termasuk aku”
“aku kecewa padamu”
“Dan pengkhianat tidak boleh dibiarkan hidup !”
============

“temannya mas Rino ya ?” tanya seorang wanita paruh baya ketika membukakan pintu.
“iya...” jawab tamunya mengangguk dan tersenyum.
“mari, silahkan masuk” wanita itu membukakan pintu lebih lebar, dan mempersilahkan tamu itu masuk. “mas Rinonya ada di kamar. Langsung saja ke kamarnya” dan wanita itu memberi petunjuk ke arah kamar Rino.
“hmm..iya iya. Makasih” tamunya mengangguk mengerti sambil kembali tersenyum. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya, “tapi sebelum itu.......”

TREASON, MUST DIE !!!!!! [ending]
author : eldhine

Tap...tap...tap
Ia melangkah menaiki tangga. Sebisa mungkin ia memelankan suara langkah kakinya. Tapi sepertinya itu percuma. Selain rumah mewah yang sepi itu, ruangan itu juga seakan memantulkan bunyi sekecil apapun.
Akhirnya ia sampai di ujung tangga. Nampak sebuah ruangan besar berhias lukisan-lukisan antik. Ia memandang berkeliling. Heran. “ini rumah ato museum sih ?” pikirnya. Ia kembali melangkahkan kaki, mencari pintu menuju kamar Rino.
“ini ya ?” ia memastikan sebuah pintu di depannya. Ada gambar seekor badak menggantung di pintu itu. “hahaha dasar badak” ia tertawa kecil.
Digenggamnya gagang pintu, ditarik ke bawah lalu ia mendorong pintu itu ke belakang dengan pelan. Ia melongok ke dalam kamar yang pintunya masih terbuka setengah itu. Nampak sebuah ruangan khas anak laki-laki dan juga seseorang berdiri dengan hanya mengenakan celena pendek selutut. Orang itu menoleh. Melihat tamu dengan wajah terkejut yang sedang mengintipnya.
“aaaaaaaaaaaaah .........” teriak mereka berdua.
Orang yang berada di dalam kamar langsung menarik selimut membalutkannya pada tubuhnya. Sedangkan tamunya menarik pintu sekeras mungkin. “blam !”
“ma..maaf !!” teriak tamu itu dari luar. Ia bersandar pada pintu, tangannya memegangi kedua pipinya yang memerah. Ia lupa kalau kamar itu adalah kamar laki-laki.
“ti..tidak apa-apa. Tunggu sebentar” balas laki-laki itu dengan teriak.
~beberapa saat kemudian~
Pintu kamar terbuka. Berdiri seorang laki-laki berkaos oblong dan tetap mengenakan celana pendek selutut. Mengamati tamu yang ada di depannya. “hmm siapa ya ?” tamunya itu mendongakkan kepala, tersenyum. “Era ??”
Tamunya kembali tersenyum, “hehe”
“ya ampun...pangling aku” laki-laki bernama Rino itu menepuk dahinya dan menggelengkan kepala, “masuk..masuk”
Era melangkahkan memasuki wilayah khas anak laki-laki. Ia menatap berkeliling. Ini baru pertama kali baginya masuk ke kamar cowok. Biasanya kalau ia ke rumah teman-teman cowok, hanya di teras saja. Paling ‘pol’ ya di ruang tamu. “jadi kamar cowok begini ya ?” batinnya.
“hei kok ngelamun ?” Rino membuyarkan lamunana Era.
“ah ga apa-apa” Era tersenyum mendadak.
“oh iya, mau minum apa nih ?” tawar Rino berbaik hati.
“lemonade” jawab Era spontan.
“le-mo-na-de ?” Rino mengangkat alis, kepalanya dimiringkan sedikit ke kanan.
“eh..bercanda kok. Bercanda” Era sedikit salting, “anu ga usah repot-repot”
“hahahaha” Rino tertawa kecil melihat tingkah Era, “ga apa-apa kok. Ga repot. Tapi kalo lemonade kayaknya ga ada”
“a...anu air putih aja” pinta Era malu-malu.
“hahaha iya deh..bentar ya. Aku suruh bibi buatin minum” Rino meninggalkan kamar. Dan terdengar suara derap langkahnya yang lari waktu menuruni tangga.
Sementara Era, masih mengamati kamar itu. Matanya tertuju pada meja belajar yang di atasnya tertumpuk buku-buku. Ia mendekat. Sebuah buku matematika terbuka di atas meja dan beberapa kertas penuh coretan berhamburan disekitarnya. “tadi dia lagi belajar ?”
Ia membolak-balik buku itu. Lalu ditutupnya dan mengambil sebuah buku lain dari tumpukan buku-buku paket. Fisika. “ngg apa ini ?” ia menarik sesuatu yang tersembul keluar dari buku itu. Foto ?
“ini...Dia ?” Era terkejut begitu melihat foto yang masih setengah. Tangannya sedikit gemetar. Ia bermaksud melihat keseluruhan foto itu. Tapi diurungkannya. Ia jadi ingat keperluannya datang ke rumah ini.
Terdengar langkah seseorang menaiki tangga. Era dengan segera kembali menyelipkan foto itu seperti sedia kala. Dan tidak lupa bersikap apa adanya.
“ah sial, pergi kemana sih itu bibi. Mana ga bilang-bilang” Rino ngomel-ngomel ketika sampai di kamar, “maaf ya Era, adanya sirup nih. Ini...” Rino menyodorkan gelas berisikan sirup jeruk.
“ah iya ga apa-apa kok” diterimanya gelas itu dan diteguknya hingga setengah, “leganyaaaa~”
Rino memperhatikan sikap Era yang lucu, dan tertawa kecil. “kamu kehausan ya ?”
Era mengangguk, “aku gampang dehidrasi”
“oooh..maaf deh. Tadi sibuk nyari sirupnya dulu. Yang nyimpen tuh bibi” cerita Rino. “lalu...tumben kamu kesini ? dan lagi, kenapa penampilanmu kaya begitu ? malam-malam pake topi” komentar Rino. Ia menarik topi Era ke bawah, hingga matanya tak terlihat.
Era manyun, dan membenarkan lagi topinya. “suka-suka aku”
“kamu itu ga bisa ditebak ya” Rino tersenyum, “oia..ada perlu apa kemari ? eh..kalo mau duduk di kasur aja” ia melihat Era yang celingak-celinguk.
“boleh ?” Rino mengangguk. Era duduk dipinggiran kasur sambil memegang gelas.
“eh tau darimana rumahku ?” tanya Rino sambil menarik kursi dan duduk tidak jauh dari Era.
“hmm...dibuku OSIS ada tuh” jawab Era.
“hoo..aku seterkenal itu ?” Rino mulai ge-er.
“ngg...” Era menyipitkan mata.
“kenapa ekspresimu begitu ?” Rino cemberut. Kembali ia mengamati tingah laku Era yang aneh. Dilihatnya Era yang sedang menggerak-gerakkan kakinya. “kamu kenapa ?”
“hmm..itu kamar mandi bukan ??” Era menunjuk ke sebuah ruangan.
Rino mengangguk, “mau pipis ya ?”
Era mengangguk cepat, menaruh gelas dan lari ke kamar mandi, “sebentar yaa~”
Rino menggaruk kepalanya. “benar-benar aneh”
~sesaat kemudian~
“makasih~~” Era kembali dari kamar mandi. “oh ya..orang tuamu kemana ? kok rumahnya sepi ?” tanya Era cepat-cepat memulai pembicaraan.
“hmm mereka ke luar negri” certita Rino, “udah sering ditinggal seperti ini”
“kerja ?”
“yah..sekalian liburan gitu”
“kebetulan dong”
“eh ?” Rino berhenti meneguk minumannya, “maksudnya ?”
Era tersenyum, “ga apa-apa kok, hehe”
“kirain ada apa. Eh daritadi aku tuh penasaran, tumben kamu main ke sini”
“emang ga boleh ?” lagi-lagi Era memanyunkan bibir.
“hahaha boleh aja, tapi ini kan pertama kalinya kamu kemari. Kirain ada hal penting” Rino tersenyum. Ia berdiri dan membalikkan badan. Berjalan menuju meja belajar, bermaksud meletakkan gelas.
“jadi, kalo ke rumahmu harus ada perlu ?” tanya Era. Tangannya membuka resleting tas yang dari tadi digendongnya.
“enggak kok. Kalo mau, tiap hari kesini juga boleh” tawar Rino.
“ah, sayangnya ini yang terakhir” ucap Era. Ia mengambil benda yang ada di dalam tasnya itu dengan hati-hati. Menggenggam erat pegangannya.
“eh ?” Rino menoleh mendengar ucapan Era. Ia melihat Era berlari menuju ke arahnya. Seberkas sinar terpantul dari benda yang dibawa Era, masuk ke matanya.
“PRANG !!”
~~~
“uuugh” rintih Rino. Suaranya tertahan oleh lantai.
Era menggerakkan kaki kanannya, memasukkannya ke bawah tubuh Rino yang tertelungkup. Dengan sekali gerak, tubuh Rino pun berbalik. Tidak susah bagi Era untuk melakukan itu. Dan terlihat wajah Rino yang sedang merintih kesakitan.
Dengan berhati-hati, agar tidak menginjak serpihan kaca, Era pindah ke sisi kiri Rino. Dan masih tetap menatap wajah Rino yang menahan sakit. Darah mulai mengalir deras dari tubuh bagian belakang Rino. Mengubah lantai putih itu menjadi merah.
Ditangannya, Era masih menggenggam erat benda tajam itu. Ujungnya meneteskan sisa darah Rino. Tidak hanya itu, baju dan sebagian wajahnya terkena cipratan darah segar Rino. Ia berjalan ke arah meja. “jleb !” dengan sekali gerakan, benda tajam itu menancap di meja kayu itu.
“....” Rino perlahan membuka matanya. Ia mencoba menahan rasa sakit itu dengan susah payah. “e...ra...” panggilnya lirih.
“sedikit lagi ya” ujar Era. Ia mengusap darah yang menempel di pipinya dengan punggung tangannya. Lalu dijilatnya darah itu.
“e..ra” ujar Rino lagi dengan lirih. Dilihatnya Era, meski dengan penglihatan yang semakin kabur. Era yang berdiri di sampingnya menatap dengan tatapan benci, bukan melainkan tatapan penuh nafsu membunuh. Dan Rino mulai menajamkan penglihatannya, “siapa itu ? siapa yang ada di belakang Era ?”
“ke-na-pa ?” tanya Rino terbata.
Era menoleh lalu berjalan mendekati Rino. Duduk di atas tubuh Rino. Tidak peduli Rino yang kesakitan.
“kamu tau” Era mulai bercerita, “dari dulu aku suka padamu” Era menatap Rino. Dilihatnya ekspresi Rino berubah. “seandainya aku bisa lebih berani untuk mengungkapkannya, seperti sekarang. Tapi aku terlalu takut dan malu untuk mengatakannya. Karena itu aku menyuruh sahabatku untuk mencari tau tentangmu. Tapi orang yang sudah aku anggap seperti saudara itu, malah mengkhiantiku. Menggunakan kesempatan dalam kesempitan” lagi-lagi ia menatap Rino, kali ini dengan tatapan tajam.
“jangan-jangan...” Rino mulai mengerti arah pembicaraan Era.
“ya...orang itu Dia. Orang yang saat ini sangat aku benci !” ujarnya. Lalu ia berdiri.
“ha..nya..i..tu ?” Rino berusaha untuk berbicara.
“hanya ?” ulang Era, “kamu tidak pernah tau rasanya dikhianati ?”
“ka..alau..be..git..u..ke..nap..pa..ak..u...”
“jawabannya simpel. Karena aku tidak mau ada yang memilikimu !”
Rino terkejut. Dengan sisa tenaganya ia tetap menjawab ucapan Era. “e..gois !”
“hah ? kamu pikir ada manusia yang tidak egois ?”
Rino terdiam. Ia tidak tahu harus menanggapi apa. Tapi yang ia tahu sekarang, ia sebisa mungkin berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaganya. Tapi, tubuhnya seperti ada yang menahan. Terasa berat. Padahal Era sudah tidak di atas tubuhnya. Tunggu, memang seperti ada sesuatu. Lagi-lagi Rino tidak percaya pada peglihatannya. Ia kembali melihat sesuatu. Sesuatu yang sama dengan yang berdiri di belakang Era tadi, sekarang sedang duduk di atas kedua kakinya.
Era berjalan masuk ke kamar mandi. Membersihkan dirinya. Mencuci wajahnya, membuang sisa-sisa darah Rino yang masih menempel. Tidak hanya itu, ia mengganti kaos yang dikenakannya. Setelah merasa beres, ia keluar dari kamar mandi dan melihat Rino yang sedang berusaha untuk bangun. Tapi Era membiarkannya. Karena Era yakin kalau Rino tidak akan bisa bangun. Selama –makhluk- itu masih di sana.
Rino melihat Era berjalan menuju meja belajarnya. Dengan sisa tenaganya, ia mengikuti kemana Era pergi.
“....” Era mencabut benda yang tadi ditancapkannya di meja. Masih basah. Tapi ia tidak peduli. Dimasukkannya ke dalam tas.
Era kembali berjalan menuju Rino. Lalu jongkok tepat di samping kepala Rino. Dielus dengan lembut pipi Rino, dan tersenyum. “nikmati masa terakhirmu, Rino”.
Rino memejamkan mata. Pasrah akan hidupnya.
Tidak berlama-lama, era kembali bangkit, berjalan menuju pintu. Namun rino mencegahnya.
“tunggu...” teriak Rino.
Era menoleh, “masih punya tenaga untuk teriak rupanya ?”
Dengan tersengal-sengal, Rino bermaksud mengulur waktu Era. “ka..mu tida..k takut ke..tauan ?”
Era mengangkat alis, sedikit tidak paham.
“kalau..a..da..ya..ng..mene..muka..nku...”
“oooh...maksudmu bibi gemuk itu ?” potong Era.
Rino terkejut. Era tahu tentang bibi ? “apa ?” Rino mulai kehabisan napas.
“hmm..mau mengulur waktuku ya ?” Era kemudian sadar, “dengar, aku melakukan hal ini tidak setengah-setengah”
“jadi..kau”
Era tersenyum licik, “kalo orang itu tidak segera ditemukan, mungkin dia akan ikut menyusulmu”
“dasar..bukan ma..nu..sia”
“memang. Aku yang sekarang adalah iblis !” ia tersenyum.
Rino benar-benar terkejut. Era, teman satu sekolahnya, yang tingkahnya lucu, yang suka salting, berubah menjadi orang paling kejam.
“e..ra” panggilnya lagi.
Tapi Era tetap melangkah menuju pintu. Tangan kanannya menarik gagang pintu, sedang tangan kirinya memegang saklar lampu. Kembali Era menoleh, melihat Rino. Yang kini telah terendam darah.
“e..ra” panggilnya lagi, “maa..af”
Tek. Era mematikan lampu. Sepertinya ia tidak mendengar ucapan terakhir Rino itu.
“selamat malam Rino” ucap Era sambil membuka pintu perlahan.
“sampai jumpa di neraka”
Cklek.
~~~
Malam itu, begitu cerah. Bulan dengan sinarnya, menyinari daerah yang sepi akan penerangan itu. Tidak terkecuali Era. Tubuhnya bermandikan cahaya bulan. Tapi tidak untuk hatinya. Hitam kelam. Hatinya kini milik –makhluk- itu.
Sambil berjalan, ia teringat sesuatu, “ah iya hape” pikirnya, “dimana dia menyembunyikan hapenya ?”
~~~
Dengan sisa tenaganya, Rino berusaha menggerakkan tangannya. Mencoba mencapai kantong celananya. Ntah kenapa hal itu terasa sangat berat. Tapi ia terus mencoba. Hingga akhirnya ia berhasil mencapainya. Lagi-lagi dengan susah payah, ia mengeluarkan benda yang ada di kantongnya itu. Handphone. Dengan cepat ia menekan angka 3 yang langsung terhubung ke nomor Dia.
~~~
Ting...Tong
“sebentaaar...” teriak seseorang dari dalam. Terdengar kakinya yang menuruni tangga dan mendekat menuju pintu. “sapa ya ?” orang itu membukakan pintu, dan melongok melihat tamunya, “Era ??”
Era melapisi wajahnya yang sedikit suram itu dengan senyum.
“ng...ada apa ?” tanya orang itu heran.
“aku tidak boleh main kemari, Dia ?” tanya Era balik.
“soal yang tadi sore....” Dia mencoba menjelaskan.
“sudahlah...tidak usah dipikirkan” potong Era masih dengan tersenuym.
“kalo begitu, masuk” Dia menarik tangan Era, masuk ke dalam rumahnya. Lalu menutup pintu. Ia mendorong tubbuh Era perlahan menuju kamarnya, “ke kamar aja ya, aku bikin minum dulu. Kebetulan si mbok lagi pergi” Era mengangguk sebagai jawaban.
Lalu Era pergi menuju kamar Dia. Benar-benar suatu kebetulan yang mengerikan. Lagi-lagi rumah Dia dalam keadaan sepi. Dan memang itu yang diharapkan Era. Ia tidak mau repot-repot.
Era duduk ditepi ranjang. Menanti Dia sambil memainkan kakinya. Ia melihat keseluruh ruangan. Matanya berhenti pada meja belajar. Tempat yang sering dipakai mereka berdua untuk mengerjakan tugas dulu. Ya dulu. Diatas meja tergeletak hape Dia yang bertipe fold. Layarnya terbuka. Era mendekat, penasaran. “ah hanya facebook ternyata” pikir Era ketika melihat layar hape Dia yang masih tersambung dengan GPRS. “dasar boros pulsa” omel Era dalam hati. Baru saja ia melangkah pergi meninggalkan meja, tiba-tiba hape itu bergetar. Era menoleh, terlihat sebuah nama yang melakukan panggilan. Rino.
Era terkejut. Segera diambil hape itu, lalu detekannya tombol hijau untuk menerima panggilan itu. Diseberang terdengar suara Rino yang terbata-bata.
“Di..Dia...” suara itu serak. Tidak terlalu jelas. “ha..ti..ha..hati..de..ngan..E..ra”
Era tersenyum mendengar ucapan itu. Untung saja yang mengangkat telpon itu adalah dirinya. Lalu ia mulai membuka mulut, menyapa Rino diseberang, “kenapa denganku ?”
“E...Era ?” suara itu terkejut.
“masih hidup rupanya” komentar Era, “seharusnya aku tidak berbaik hati padamu”
“ma..mana Dia ? kau apakan dia ?” teriaknya sambil terbatuk-batuk.
“ngg...” Era mendengar suara langkah mendekat, “ah..hanya memuaskan kesenangan. Selamat tinggal” lalu ia menekan tombol merah.
“Era ?” tanya Dia yang baru masuk dengan membawa 2 gelas minuman. Diletakkan gelas itu di meja. Lalu ia melihat Era yang sedang memegang hapenya. “sedang apa kamu dengan hapeku ?”
“ah ini ? hanya liat aja” Era sedikit panik, “kamu daritadi fb-an ya ?”
“sini !” Dia merasa tidak suka, lalu dengan sedikit memaksa ia mengambil hapenya dari tangan Era.
“maaf” ujar Era singkat.
Dia menatap layar hapenya. “ga ada sms ato telpon dari Rino ya ?” lirihnya.
“ngg..apa ?” tanya Era.
“ah..tidak. aku hanya ngomong sendiri kok” Dia tersenyum, dengan sedikit terpaksa.
“kamu kira aku tidak tau ya” batin Era.
“oh iya..” teriak Dia sambil menyodorkan segelas lemonade, “lemonade kesukaanmu”
“aaah...lemonade !” dengan cepat Era menerimanya. Didekatkan gelas lemonade itu ke pipinya. Merasakn dingin. Lalu diteguknya hingga setengah. “leganyaaa~~”
Dia yang duduk tidak jauh dari Era, menatap Era sambil tersenyum kecil. Ia berpikir sampai kapan temannya itu akan berhernti bersikap kekanakkan.
“kenapa menatapku ?” tanya Era heran.
“ntu..kenapa penampilanmu kayak begitu ?” Dia heran dengan penampilan Era yang tidak biasa.
“hmm...” Era berpikir, “ingin nyoba aja”
“heh ? jawaban apa itu ?”
“lagian, kayaknya keren” Era memuji dirinya sendiri.
“haduh..iyalah apapun katamu” Dia berdiri. Ia merasa sedikit aneh. Berbicara dengan Era tidak semenarik dulu. Mungkin gara-gara kejadian tadi sore. Dia memilih menjauh sedikit. Membelakangi Era, lalu berjalan menuju meja belajarnya.
Tanpa diketahui Dia, Era ikut berdiri. Berjalan di belakang Dia. Pelan-pelan ia mengambil benda yang ada ditasnya.
GREP !
Era mencengkram bahu Dia dengan keras. Membuat Dia berteriak kesakitan. Lalu menariknya hingga membuat tubuh Dia berbalik.
“ada apa ?” tanya Dia terkejut. Dilihatnya Era dengan senyum yang mengerikan. Ditangannya tergenggam sebuah benda tajam berwarna merah. “ma..mau ap..kyaaaa”
~~~
Dia membuka matanya. Nampak Era yang sedang duduk di atas tubuhnya, memainkan benda tajam yang meneteskan darah itu. Sepertinya Era belum sadar kalau Dia telah menatapnya sejak tadi. Dia merasa jijik, ketika tetesan darah itu mengenai jari Era. Lalu tanpa ada rasa jijik, Era menjilatnya seperti menjilat syrup cocopandan. Tapi...darah sipa itu ?
Era mengangkat kaki kanannya, dan menginjak lengan atas Dia. “AAAARGH !!!” teriak Dia sekerasnya.
Dilihatnya lengan Dia yang tergores pisau, agak dalam. “itu darahmu sayang” Era mendekatkan ujung tajam dari pisau itu ke wajah Dia. Beberapa tetes darah yang menempel di pisau itu, menetes dan meluncur pelan di wajah Dia.
Dia memperhatikan mata pisau itu. Terpantul wajahnya yang ketakutan. Ia mulai terisak. “mau apa kamu, Era ?”
“menurutmu ?” kali ini Era menempelkan pisau itu ke pipi Dia. Membuat pipi putihnya yang mulus berlumuran darahnya sendiri. Spontan Dia memejamkan matanya sambil menitikkan air mata. Takut.
“kenapa ? kamu takut ?” tanya Era. Ia menjauhkan benda itu dari wajah Dia.
“apa maumu Era ?” tanya Dia sambil menangis.
“kenapa menangis ? toh ini sama saja dengan ketika seseorang mengkhianatimu” ujar Era.
“masalah tadi sore kan ?” tebak Dia.
Era hanya diam.
“oke..aku akan jujur. Aku juga suka dengan Rino” kata Dia dengan berteriak. “aku tidak bisa bilang padamu. Aku takut kamu akan kecewa”
“hanya itu ?” tanya Era, “hanya itu yang ingin kamu ucapkan ?”
“eh ?”
“kamu pikir aku percaya ?” Era menatapnya, “pengkhianat sepertimu ?”
“de..dengar dulu. Yang suka duluan itu adalah Rino. Bukan aku !!! karena sering sama-sama, akhirnya aku juaga menyukainya”
“kenapa tidak kamu tolak dia ?” tanya Era.
“erg...ngggg”
“tidak bisakan ? karena kamu menginginkan dia menjadi milikmu”
“a..aku sudah menolaknya. Aku sudah menolaknya, Era !! tapi dia memaksa !” teriak Dia, “kalo tidak percaya, telpon dia!!”
Dia menyerahkan hape yang daritadi digenggamnya. Era mengambilnya. Tapi langsung dilemparnya ke belakang.
“eh ?”
“tidak butuh ! lagipula orang itu tidak mungkin akan mengangkatnya” Era tersenyum.
“a..apa maksudmu ?” tanya Dia tidak mengerti, “jangan-jangan....kamu..”
“iya...aku membunuhnya !”
“dasar IBLIS !!!” teriak Dia. Ia mulai memberontak.
“aku memang iblis” ujar Era sambil tertawa. Dilihatnya Dia yang berusaha menjatuhkan tubuhnya.
Dia berusaha menggulingkan Era yang duduk di atas tubuhnya. Tapi itu percuma. Kakinya seperti ada yang menahan.
“percuma kamu berontak” ujar Era santai, “kamu pikir aku siapa. Aku tidak selemah yang kamu kira. Ditambah lagi, aku mendapatkan kekuatan untuk melakukan kesenangan ini”
Dia kembali menangis. Sepertinya, ini akhir hidupnya.
“nah....” Era mengangkat pisaunya tinggi-tinggi, “seperti yang sudah kamu kira”
“tunggu Era....kita bisa menyelesaikannya dengan baik-baik”
“hah ? maaf saja...kesenanganku bisa berakhir kalau hanya seperti itu” Era menggenggam erat pegangan pisau itu.
“tunggu Era...” Dia memohon sambil terus menangis.
“selamat tinggal. Pengkhianat...harus mati !!!!!!” dengan cepat Era menurunkan pisaunya. Dia yang terlentang dilantai, dapat melihat dengan jelas mata pisau yang semakin mendekat. Dan merenggut nyawanya.
....
~beberapa hari kemudian~
“ckckckck...anak jaman sekarang benar-benar sulit dimengerti. Gadis kecil sepertimu bisa-bisanya membunuh kedua teman 1sekolahmu. Dimana hatimu ?” ujar seorang wanita sambil mengetuk-ngetuk kaca mobilnya. Kembali dilihatnya seorang anak perempuan yang baru digirngnya.
“maaf komandan...dia sudah 17 tahun” komentar seorang pemuda, bawahannya.
“eh ? sama saja itu !!” protes wanita itu. “lagipula dia hampir membunuh seorang wanita tua yang disembunyikannya di dalam lemari, ckckck” wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya, dan pergi menjauh dari mobil dinasnya.
Pemuda itu tetap berdiri disana. Mematuhi ucapan atasannya yang sedikit cerewet itu. Dilihat atasannya itu pergi. Mungkin ini pertama kali baginya menangani kasus seperti ini. Apalagi dia baru masuk ke kepolisian 1bulan yang lalu. Karena di kantornya sedang kekurangan orang, terpaksa dia mengikuti atasannya itu.
Ia membolak-balik buku catatan kecil miliknya. Dibacanya kembali mengenai data-data tentang anak perempuan yang sekarang duduk di mobil polisi itu.
“hmm..aneh sekali” gumamnya. Ia menggaruk kepalanya dan menoleh ke belakang, melihat anak perempuan yang dari tadi hanya diam saja. “glek” ia merasakan sesuatu yang ganjil. Aneh.
Grep. “waaaaaaa” teriak pemuda itu ketika seseorang memegang pundaknya dengan tiba-tiba.
“apa-apaan kamu ?” tanya wanita itu dengan marah.
“ma..maaf Komandan. Saya kaget” jawab pemuda itu sambil mengelus dadanya.
“hah ? mana ada polisi seperti itu” bentak wanita itu.
“begini Komandan, apa anda tidak merasa aneh ?” tanya pemuda itu tiba-tiba.
“apanya ?”
“anak perempuan itu... entah hanya perasaan saya, atau bukan, saya merasa dia itu aneh” ujarnya bertele-tele. Pemuda itu takut ditertawakan oleh atasannya.
“aneh apanya ?? jangan bertele-tele” bentak wanita itu.
“dia seperti...bukan manusia” pemuda itu membisikkan kata-kata itu kepada atasannya.
“apa ?” wanita itu menoleh, memperhatikan tawanan mereka, “kalau dia bukan manusia, lalu apa ? nggg...?” wanita itu diam sejenak. Ntah ada sesuatu yang membuatnya sedikit merasa takut.
“iyakan komandan...” pemuda itu memastikan.
“aah...kau terlalu banyak nonton film” jelas wanita itu berlagak.
“aduh komandan..apa anda tidak curiga ? tidak ada yang tahu tentang hal itu. Anak itu membunuh temannya kira-kira 2 hari yang lalu. Tapi baru sekarang ketahuan” dilihat komandannya sedikit berpikir, “lalu hal yang paling aneh. Kedua rumah korban kebetulan sepi. Apa itu tidak aneh komandan ?”
“benar juga” wanita itu mulai merasakan keganjilan, “sudahlah, lebih baik sekarang kita kembali ke kantor. Dan cepat menyelesaikan kasus ini”
“baik” pemuda itu lari ke sisi mobil yang satu. Membuka pintu mobil, memasang kuci, dan pergi dari sana.
Diperjalanan......
“eh ngapain dia ?” tanya wanita itu ketika melihat anak perempuan yang duduk di belakang mereka itu sedang membungkuk.
“mungkin kakinya gatal ?” tebak pemuda itu. Ia memperhatikan tingkah anak perempuan itu melalui cermin.
“hmmm...”
Satu kelemahan dari kedua polisi ini. Ntah lupa atau memang disengaja, mereka tidak memeriksa tahanan mereka sebelum dibawa pergi. Meski tahanannya itu seorang ‘anak perempuan’.
“.........”
“kenapa ?” tanya wanita itu.
“aaah sepertinya ada yang tidak beres dengan bannya” tebak pemuda itu.
“apa ? kalau begitu cepat ke tambal ban, biar diperiksa” perintah wanita itu.
“tapi komandan...” ujarnya lirih, “anda tidak lihat dimana kita ? kita ada di daerah persawahan”
“eh ??” wanita itu langsung melihat sekelilingnya. Mereka berada di jalan yang diapit oleh bentangan sawah. “kok bisa ?”
“saya juga heran komandan. Kalau begitu biar saya periksa. Semoga tidak fatal kerusakkannya” pemuda itu turun dari mobil, lalu bergegas memeriksa ban.
Sambil menunggu bawahannya itu, wanita yang sudah menginjak usia 40 tahun itu,  mengeraskan volume radio. Mendengarkan berita yang disiarkan.
“hey..jangan coba kabur ya ?” wanita itu memberi peringatan.
Tapi anak perempuan itu hanya diam saja. Dan lagi-lagi ia membungkukkan badan. Dan seperti yang ia duga, wanita itu membiarkannya. Dia memegang pergelangan kakinya, menurunkan kaos kaki yang membungkus kakinya hingga ke mata kaki. Terlihat sebuah pisau lipat (pemes) tersembunyi disana.
“ayo..perlihatkan kesenanganmu itu padaku” bisik –makhluk- itu ditelingannya.
Dengan pisau lipat ditangannya, ia mulai mendekati waita yang sedang setengah tidur. Ia melingkarkan tangan kanannya yang memegang benda itu ke leher wanita itu. Membuat wanita itu terkejut.
“apa-apaan ka... ?” wanita itu tidak melanjutkan ucapannya. Matanya tertuju pada pisau kecil yang menempel di lehernya.
“polisi sekarang sulit dimengerti. Membiarkan seorang anak perempuan dibawa tanpa pemeriksaan” ujarnya sambil meniru ucapan wanita itu tadi.
“bukan begitu, kami pikir kamu hanya seorang gadis yang labil. Jadi kami tidak memeriksamu” ujar wanita itu memberi alasan.
“kamu pikir aku ini siapa, wanita menor ?? aku ini Era. Iblis” Era memperkenalkan diri.
“iblis ?” wanita itu tidak percaya. Ia melirik ke arah spion. Betapa terkejutnya dia ketika melihat bayangan yang dipantul oleh spion itu. Anak itu bukan, dia memang iblis. Dia jadi teringat ucapan bawahannya tadi.
“tunggu...lalu mau apa kamu sekarang ?” tanyanya. Ia berusaha mengulur waktu. Sementara itu tangannya mencoba menggapai pistol yang ada di dekat persneling.
“mau apa ? gara-gara kalian, kesenanganku terhenti. Kalian harus membayarnya !”
“kesenangan ? maksudmu membunuh ?” Era mengangguk “tunggu, kalau itu hukumanmu bisa lebih berat lagi”
Tangan wanita itu berhasil memegang pistol miliknya. Ia mulai menariknya perlahan agar tidak terlihat mencurigakan. Tapi.. ‘duk’ Era menginjak tangan wanita itu.
“hmm..berusaha melawan ya ?” tanya Era. Ia menekan lebih keras kakinya. Wanita itu meringis kesakitan.
“tunggu..kita bisa membicarakan ini dengan baik-baik” ujar wanita itu, “aku akan membuat hukumanmu lebih ringan”
“huh...aku tidak suka dengan hal itu” Era mual mendengar kata-kata itu. “dan kau, wanita yang cerewet, pergi kau !!” dengan sekali gores, Era melukai leher wanita itu .
“aaaaaaaargh”
~sementara itu.....
“nggg ?” pemuda itu menoleh. Samar-samar ia mendengar suara jeritan. “komandan baik-baik saja kan ?” cemasnya. Lalu ia mendengar suara radio yang semakin lama semakin keras.
“ooh..suara radio ternyata” ia menghela napas lega. Ia lalu melanjutkan memeriksa ban mobil bagian belakang.
Tap..tap..tap...
“ngg ?” pemuda itu mendongakkan kepala. Di depannya telah berdiri seorang anak perempuan. Tahanan mereka. Wajahnya berlumuran darah. Tangan kanannya menggenggam sesuatu.
“ka...kamu ?” ia jatuh ke belakang. ‘glutuk’ sesuatu jatuh dari saku celenanya.
“ke..kenapa kamu ?” ia langsung sadar. Pemuda itu bergegas berdiri, lari ke bagian depan mobil.
“koman..DAN ????” pemuda itu terkejut. Ia menemukan komandannya telah tak bernyawa.
Pemuda itu menoleh, bermaksud mencari anak perempuan itu. Tapi anak perempuan itu telah berdiri tidak jauh darinya.
“kamu....kamu telah membunuhnya ?” tanyanya.
“hmm..” anak perempuan itu tersenyum. Lalu mengeluarkan sesuatu. Sebuah geretan.
“eh ?” ia memeriksa kantung celananya. Ia baru sadar kalau geretan punyanya terjatuh. “mau apa kamu dengan benda itu ?” tanya pemuda itu.
Anak perempuan itu mulai menyalakan geretan. Api yang menyala bergerak-gerak tertiup angin. Tapi tidak mati.
“tunggu..mau apa kamu ??” teriak pemuda itu lagi. Diikuti pandangan anak perempuan itu. “hah ? sejak kapan ?” ia terkejut waktu melihat tutup tangki mobil sudah terbuka. Isinya mengalir sedikit demi sedikit.
“nah...kita akhiri sampai sini” ujar anak perempuan itu.
“tung..gu...” teriaknya sambil berlari mendekati anak perempuan itu. Berusaha merebut geretan itu dari tangannya. Namun, dengan satu tendangan dari anak perempuan itu, pemuda itu terhempas ke belakang. Punggungnya menabrak dengan keras badan mobil.
“nah..sampai jumpa” ujarnya sambil melempar geretan itu ke arah tangki. Lalu ia pergi menjauh.
DUAAR !!!
.
“hmm...” ia berdiri diatas sebuah gedung. Ah mungkin lebih tepatnya melayang. Ia memandang semua kegiatan manusia. Mencari sisi kelemahan makhluk yang sempurna itu. Dibanding dengannya. Karena dia selalu menggunakan kesempatan dalam kelemahan manusia.
“tak adakah yang bisa diajak bermain ?” tanyanya pada dirinya sendiri. Sepertinya ia ketagihan bermain-main. “atau mungkin diantara kalian, ada yang butuh bantuanku ?” tawarnya sambil tertawa.
“ngg...” ia merasakan sesuatu. “sepertinya ada yang menarik nih. Ditinggal mati pacar ya ??” ia berhasil menemukan target barunya. Mainannya. “ayo! Kita bermain-main dengannya. Ia tersenyum. Dengan cepet menghampiri anak manusia itu. Dan menawarkan bantuan.

-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar